A. Hukum kehalalan memakan Ikan Hiu
Ikan
hiu (Inggris : shark)
dalam literatur bahasa Arab disebut al
qirsyu. Dalam Kamus Al-Maurid karya
Syaikh Munir Ba’albaki hlm. 843, diterangkan bahwa shark (ikan
hiu) adalah ikan liar yang sebagiannya berukuran besar yang ditakuti
kebuasannya.
Ikan
hiu, hukumnya mubah karena termasuk binatang laut yang hukumnya halal
berdasarkan keumuman dalil-dalil Alquran dan As Sunnah (M. Masykur Khoir, Risalatul Hayawan, hal. 62; Asy Syarbini Khathib, Mughni Al Muhtaj, 4/298; Ibrahim bin Muhammad, Manarus
Sabiil, 2/368).
Dalil
mubahnya ikan hiu di antaranya firman Allah SWT (artinya): “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal)
dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu…” (TQS Al Maidah [5]:
96).
Imam
Al Qurthubi menjelaskan, ”Firman Allah Ta’la yang berbunyi ‘uhilla
lakum shaidul bahri’ (dihalalkan bagimu binatang buruan laut)
merupakan hukum penghalalan bagi binatang buruan laut, yaitu setiap binatang
yang diburu dalam keadaan hidupnya…” (Imam Al Qurthubi, Al
Jami’ li Ahkam Al Qur`an, 6/318).
Dalil
As Sunnah adalah sabda Nabi SAW, ”Dia [laut] itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR Malik dan Ashhabus Sunan,
dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain) (Ibnu Hajar Al
Asqalani, Fathul Bari, 9/169; Shahih Ibnu Hibban, no. 1423; Al Mustadrak ‘Ala Al Shahihain, no. 491).
Dalam
kitab Aunul Ma’bud dijelaskan hadits di atas menunjukkan
bahwa semua hewan laut, yaitu hewan yang tak dapat hidup kecuali di laut,
hukumnya halal. (Muhammad Syamsul Haq Al Azhim Abadiy Abu Ath Thayyib,Aunul
Ma’bud, Juz 1/107).
Berdasarkan
keumuman dalil-dalil Alquran dan As Sunnah tersebut dapat disimpulkan semua hewan laut hukumnya halal
termasuk ikan hiu.
Memang
sebagian ulama mazhab Syafi’i telah mengharamkan ikan hiu. Alasan mereka,
karena ikan hiu dianggap binatang buas yang menyerang dengan taringnya (ya’duw
bi naabihi). (Abul ‘Ala` Al Mubarakfuri,Tuhfatul Ahwadzi,
1/189; Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul
Bari, 9/169; Ibrahim bin Muhammad, Manarus Sabiil, 2/368).
Pendapat
ini didasarkan pada hadits yang mengharamkan umat Islam memakan setiap binatang
buas yang bertaring. Diriwayatkan oleh Abu Tsa’labah Al Khusyani RA, bahwa ”Nabi
SAW telah melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring.” (HR Muslim, no. 3571)
Namun
pendapat yang rajih (kuat) menurut kami, adalah pendapat yang menghalalkan ikan
hiu, berdasarkan kaidah ushul fikih (qa’idah ushuliyah): i’mal
ad dalilaini aulaa min ihmaal ahadihima bil kulliyyah.” (Mengamalkan
dua dalil lebih utama daripada mengabaikan salah satu dalil secara menyeluruh).
(Taqiyuddin An Nabhani, Al
Syakhshiyyah Al Islamiyah, 1/240).
Dalam
hal ini pendapat yang menghalalkan ikan hiu telah mengamalkan dua dalil. Dalil
yang pertama adalah dalil umum Alquran dan As Sunnah yang menghalalkan binatang
laut, termasuk ikan hiu. Sedangkan dalil kedua ialah hadits Abu Tsa’labah Al
Khusyani RA di atas, meski dengan membatasi keberlakuannya hanya untuk binatang
buas bertaring yang hidup di darat (hayaman al barr), seperti singa dan harimau, tak
mencakup binatang buas bertaring yang hidup di laut (hayawan al bahr),
seperti ikan hiu. Dengan demikian, semua dalil diamalkan.
B. Hukum Kehalalan Hewan yang Hidup di Dua Alam
Hukum Asal Hewan yang Hidup di
Dua Alam
Yang kami ketahui tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang
shahih dan tegas yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam
(laut dan darat) kecuali untuk katak. Dengan demikian binatang yang hidup di
dua alam dasar hukumnya kembali ke kaedah: “Hukum asal segala sesuatu itu
halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.
Perselisihan Ulama
Para ulama madzhab memiliki silang pendapat dalam masalah
hewan yang hidup di dua alam (air dan darat). Rinciannya sebagai berikut.
Ulama Malikiyah: Membolehkan secara mutlak, baik itu katak,
kura-kura (penyu), dan kepiting.
Ulama Syafi’iyah: Membolehkan secara mutlak kecuali katak.
Burung air dihalalkan jika disembelih dengan cara yang syar’i.
Ulama Hambali: Hewan yang hidup di dua alam tidaklah halal
kecuali dengan jalan disembelih. Namun untuk kepiting itu dibolehkan karena
termasuk hewan yang tidak memiliki darah.
Ulama Hanafiyah: Hewan yang hidup di dua alam tidak halal sama
sekali karena hewan air yang halal hanyalah ikan.
Haramnya Katak
Adapun dalil haramnya memakan katak adalah hadits,
“Ada
seorang tabib menanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai
katak, apakah boleh dijadikan obat. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang untuk membunuh katak.” (HR. Abu Daud no. 5269 dan Ahmad
3/453. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Al
Khottobi rahimahullah mengatakan,
“Dalil
ini menunjukkan bahwa katak itu diharamkan untuk dimakan. Katak termasuk hewan
yang tidak masuk dalam hewan air yang dihalalkan.”
Bolehkah berobat dengan katak?
Penulis ‘Aunul Ma’bud mengatakan, “Jika seseorang ingin berobat
dengan katak tentu saja ia perlu membunuhnya. Jika diharamkan untuk membunuh,
maka tentu saja dilarang pula untuk berobat dengannya. Katak itu terlarang,
boleh jadi karena ia najis atau boleh jadi karena ia adalah hewan yang kotor.”
Apakah Buaya Halal Dimakan?
Mayoritas
ulama menyatakan bahwa buaya itu haram dimakan. Imam Ahmad rahimahullah memiliki pendapat,
“Setiap hewan yang hidup di air boleh dimakan kecuali katak dan
buaya.”
Jika
kita memakai pendapat ulama yang mengatakan bahwa hewan air itu menjadi haram
jika ia memiliki kemiripan dengan hewan darat, maka jadinya buaya pun bisa
diharamkan. Seperti kita ketahui bersama bahwa buaya adalah binatang bertaring
dan ia memangsa buruannya dengan taringnya. Dari sini buaya bisa saja masuk
dalam pelarangan hewan bertaring sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap
binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR.
Muslim no. 1933)
Namun
qiyas (analogi) buaya dengan dalil di atas kuranglah tepat. Syaikh Dr. Shalih
Al Fauzan hafizhohullahmengatakan,
“Adapun
para ulama yang memiliki pendapat dengan mengqiyaskan hewan air dengan hewan
darat yang diharamkan, maka ini tidaklah
tepat. Qiyas semacam ini bertentangan dengan nash (dalil tegas)
yaitu firman Allah Ta’ala,
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.”
(QS. Al Maidah: 96).”
Kami
lebih tentram memilih pendapat yang mengatakan bahwa buaya itu halal dimakan karena
tidak ada dalil tegas yang mengharamkannya sehingga kita kembalikan ke hukum
asal, segala sesuatu itu halal. Jika kami menyatakan halal, bukan berarti wajib
atau sunnah untuk dimakan, cuma boleh saja. Jika jijik atau tidak suka, yah
silakan. Yang kami bahas adalah masalah hukumnya.
Pendapat Ulama Besar Mengenai Buaya, Kura-kura, Kepiting dan
Landak Laut
Pertama: Fatwa Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi
Arabia)
Pertanyaan: Apakah dibolehkan memakan kura-kura, kuda laut,
buaya, landak laut? Ataukah hewan-hewan tersebut haram dimakan?
Jawaban:
Landak laut halal untuk dimakan. Hal ini berdasarkan keumuman
ayat,
Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan
kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena
sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah.” (QS. Al An’am: 145).
Hukum asal segala sesuatu adalah halal sampai ada dalil yang
menyatakannya haram.
Adapun hewan kura-kura, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan
meskipun tidak disembelih. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan dari laut.”
(QS. Al Maidah: 96).
Begitu
pula dengan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang air laut,
“Air
laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR. At Tirmidzi no. 69,
An Nasai no. 332, Abu Daud no. 83, Ibnu Majah no. 386, Ahmad 2/361, Malik 43,
Ad Darimi 729)
Akan tetapi untuk kehati-hatian, kura-kura tersebut tetap
disembelih agar keluar dari perselisihan para ulama.
Adapun buaya, sebagian ulama menyatakan boleh dimakan
sebagaimana ikan karena keumuman ayat dan hadits yang telah disebutkan.
Sebagian lainnya mengatakan tidak halal. Namun yang rojih (pendapat terkuat)
adalah pendapat pertama (yang menghalalkan buaya).
Adapun kuda laut, ia juga halal dimakan berdasarkan keumuman
ayat dan hadits yang telah lewat, juga dihalalkan karena tidak adanya dalil
penentang. Kuda yang hidup daratan itu halal dengan nash (dalil tegas),
sehingga kuda laut pun lebih pantas dinyatakan halal.
Wa
billahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi
wa sallam.
[Yang menandatangani fatwa ini: Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah
bin Baz selaku ketua; Syaikh ‘Abdur Rozaq ‘Afifi selaku wakil ketua; Syaikh
‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota]
Kedua: Fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
Dalam Fatawa Nur ‘ala Ad Darb,
Syaikh rahimahullah mengatakan, “Seluruh hewan air itu halal
bahkan untuk orang yang sedang ihrom. Orang yang sedang ihrom boleh baginya
berburu di laut. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang
lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu
(menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram.” (QS.
Al Maidah: 96)
Yang
dimaksud “shoidul bahr” adalah hewan air yang ditangkap dalam
keadaan hidup. Sedangkan yang dimaksud “tho’amuhu” adalah hewan air yang ditemukan dalam
keadaan sudah mati. Ayat tersebut menerangkan (yang artinya), “Dihalalkan
bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup)”.
Secara tekstual (zhohir ayat), tidak ada yang mengalami pengecualian dalam ayat
tersebut. Karena “shoid” dalam ayat tersebut adalah mufrod mudhof. Sedangkan
berdasarkan kaedah mufrod mudhof menunjukkan umum (artinya: seluruh tangkapan
hewan air adalah halal, pen), sebagaimana pula dalam firman Allah Ta’ala,
“Dan
jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya”
(QS. Ibrahim: 34). Mufrod mudhof dalam kata nikmat menunjukkan atas seluruh
nikmat.
Jadi pendapat yang menyatakan halalnya seluruh hewan air (tanpa
pengecualian), itulah yang lebih tepat. Sebagian ulama mengecualikan katak,
buaya, dan ular (yang hanya hidup di air). Mereka menyatakan hewan-hewan ini
tidak halal. Namun pendapat yang tepat hewan-hewan tadi tetap halal (kecuali
katak, pen). Seluruh hewan air itu halal, baik ditangkap dalam keadaan hidup
maupun bangkai. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no. 129, side A]
Dalam Liqo’ Al Bab Al Maftuh,
Syaikh rahimahullah ditanya, “Apa hukum makan katak, ular
(yang hanya hidup di air), dan kepiting?”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Kalau kita melihat keumuman firman Allah Ta’ala,
“Dihalalkan
bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam keadaan hidup) dan yang
ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi
orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96), menunjukkan bahwa
hewan-hewan tersebut halal kecuali katak. Ia bukanlah hewan air. Katak hidup di
darat dan di air sehingga ia tidak masuk dalam keumuman ayat tadi. [Liqo’ Al
Bab Al Maftuh kaset no. 112, side B]
Beliau
juga ditanya dalam kajian Nur
‘ala Ad Darb, “Daging buaya dan kura-kura itu halal dimakan
ataukah haram? Karena kami menemukan makanan semacam itu di negeri kami, Sudan.
Berilah penjelasan pada kami. Barakallahu fiikum.”
Beliau menjawab, “Semua hewan air itu halal, baik yang ditangkap
dalam keadaan hidup maupun bangkai. Allah Ta’ala berfirman,
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang
lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96)
Ibnu
‘Abbas mengatakan bahwa “shoidul bahr” maknanya adalah hewan air yang ditangkap
hidup-hidup. Sedangkan “tho’amuhu” adalah hewan air yang ditangkap dalam
keadaan mati. Akan tetapi sebagian ulama katakan bahwa buaya itu tidak halal
karena buaya termasuk hewan yang bertaring. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang memakan hewan yang
bertaring baik itu hewan buas. Sedangkan hewan darat piaraan (jinak) yang
bertaring pun diharamkan. Akan tetapi, zhohir (tekstual) surat Al Maidah
ayat 69 menunjukkan akan halalnya buaya. [Fatawa Nur ‘ala Ad Darb, kaset no.
137, side A]
Syaikh rahimahullah pernah menyannggah orang yang mengharamkan buaya
dengan alasan bahwa buaya itu bertaring. Syaikh menyatakan bahwa yang dimaksud
larangan dalam hadits adalah untuk hewan darat yang bertaring. Sedangkan hewan
buas yang hidup di air, maka ia memiliki hukum tersendiri. Oleh karena itu,
dihalalkan memakan ikan hiu. Padahal ikan hiu juga memiliki taring yang
digunakan untuk memangsa buruannya. (Lihat Syarhul Mumthi’, 15/34-35)
Ulama
saat ini yang juga menghalalkan buaya adalah Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah
bin Baz rahimahullah(Fatwanya,
23/24) sebagaimana beliau pun mendukung pendapat ini dalam Fatwa Al Lajnah Ad
Daimah yang telah lewat.
Ringkasan: Penjelasan ini menunjukkan bahwa buaya, kura-kura dan kepiting
itu halal dimakan. Halalnya hewan-hewan ini sesuai dengan pendapat ulama
Malikiyah karena mereka menganggap setiap hewan air itu halal.
Sedangkan
ulama yang menyatakan bahwa kepiting dan kura-kura itu haram karena dianggap
jijik (khobits),
maka ini perlu ditinjau. Karena khobits (jijik) itu bukanlah dalil tegas akan
haramnya sesuatu. Adapun, katak ada dalil tegas yang menunjukkan akan haramnya
karena ia termasuk hewan yang tidak boleh dibunuh.
Lalu bagaimana cara membunuh kepiting dan kura-kura agar jadi
halal?
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni menyatakan, “Setiap hewan air yang
bisa hidup di daratan, maka tidak halal kecuali dengan disembelih. Contohnya
adalah burung air, kura-kura,
dan anjing laut. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki saluran darah
seperti kepiting.
Kepiting itu dihalalkan walaupun tidak dengan cara penyembelihan. Imam Ahmad
pernah ditanya,
“Kepiting itu tidak mengapa dimakan (baca: halal), lantas
bagaimana ia disembelih? Imam Ahmad menjawab, “Tidak perlu disembelih.”
Demikian karena memang penyembelihan itu berlaku bagi hewan yang
mengeluarkan darah. Dagingnya bisa jadi halal dengan cara mengeluarkan darah
dari tubuhnya. Hewan yang tidak ada mengalir darah dalam tubuhnya tidak butuh
untuk disembelih.”
Artinya, kepiting disembelih di daerah mana pun yang membuat ia
mati, tetap membuatnya halal.
Kesimpulan Mengenai Hewan Air
Mengenai hewan air dapat kami ringkas sebagai berikut:
Pertama: Hukum seluruh hewan air (yang hanya hidup di air)
adalah halal. Begitu pula, hukum asal hewan air yang hidup di dua alam (air dan
darat) adalah halal.
Kedua: Katak itu haram karena ada dalil yang melarang
membunuhnya. Ada kaedah, setiap hewan yang dilarang dibunuh, maka tidak boleh
dimakan.
Ketiga: Buaya itu halal, berbeda dengan pendapat mayoritas
ulama.
Keempat: Ular yang hanya hidup di air juga halal karena ia
termasuk dalam keumuman ayat,
“Dihalalkan bagimu binatang buruan laut (yang ditemukan dalam
keadaan hidup) dan yang ditemukan dalam keadaan bangkai sebagai makanan yang
lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan” (QS. Al Maidah: 96).
Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang
mengharamkannya.
Kelima: Hewan air yang bisa hidup di dua alam (darat dan laut)
seperti anjing laut, kura-kura, burung laut, juga boleh dimakan asalkan dengan
jalan disembelih. Kecuali jika hewan tersebut tidak memiliki darah seperti
kepiting.
Keenam:
Setiap hewan air yang membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi, tidak boleh
dimakan. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisa’: 29)
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”
(QS. Al Baqarah: 195)
Ringkasnya,
hewan yang hidup di air itu halal kecuali katak dan hewan lainnya yang dapat
membawa dampak bahaya ketika dikonsumsi.
Wallahu
a’lam bish showab.
Sumber: http//mediaumat.com